Oleh
Prof.Dr.Mahsun, M.S Guru Besar Linguistik Universitas Mataram
Teks
pidato Basuki Tjahja Purnama (BTP) sesungguhnya lebih dilatarbelakangi oleh
konteks Pilkada DKI. Konteks ini tampak dari munculnya dua kali pernyataan BTP
yang tersisipi pada uraiannya tentang program unggulan yang direncanakan untuk
membangun masyarakat Kepulauan Seribu. Pernyataan itu misalnya tergambar pada
unsur kebahasaan; (a) Saya selalu tegaskan sama bapak/ibu juga jangan
terpengaruh ini urusan dengan pilkada coba ingat, kalu ada yang lebih baik dari
saya, kerja lebih benar dari saya, lebih jujur dari saya bapak/ibu jangan pilih
saya. Bapak ibu mau pilih saya, bapak ibu bodoh dan (b) Jadi Bapak ibu gak usah
khawatir ini pemilihan kan dimajuin kalau saya tidak terpilih bapak ibu,
saya berhentinya Oktober 2017. Jadi kalau program ini kita jalanin dengan baik,
bapak ibu masih sempat manen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi
gubernur. Agak menarik mengapa BTP memunculkan gagasan tentang Pilkada itu dua
kali, dan disisipi di tengah-tengah uraiannya tentang paparan program
unggulannya.
Dalam
teori linguistik dikenal konsep topikalisasi, pengedepanan/penonjolan.
Repetisi/pengulangan merupakan salah satu strategi penonjolan gagasan. Dengan
demikian, teks itu lebih diwarnai konteks Pilkada. Persoalannya, apabila pesan
yang ditonjolkan itu lebih berkonteks pada Pilkada, mengapa harus berbicara
berputar-putar, tentang program dan menyangkut diri pribadi Ahok, tidak
langsung saja ke masalah pemilihan? Hal itu, tentu terkait dengan pandangan
yang dianut dan dicoba bangun oleh BTP, yaitu: (a) sosok calon gubernur DKI
yang layak dipilih adalah sosok gubernur yang memiliki program yang inovatif,
(b) berintegritas: jujur, berani, tidak korup. Namun, dia pun sadar bahwa, ada
tantangan latar belakang agama pemilih yang harus dihadapi, yaitu latar
belakang pemilih muslim.
Terkait
hal pertama, tampak sekali BTP menyebutkan bahwa program yang diusulkan itu
merupakan program yang prorakyat, bahkan untuk titik masuknya, BTP mencoba
mempersonifikasikan diri sama dengan masyarakat kepualauan Seribu, seperti
terkandung dalam ungkapannya: "Saya kalau ke pulau seribu saya pasti
bilang masih ingat kampung saya... Waktu saya turun saya lihat pak lurah saya
panggil pak kades. karena taunya Pak kades..." Lalu dilanjutkan dengan
pemaparan program inovasinya berupa: (a) program budidaya; (b) Pembinaan
nelayan budi daya perorangan tidak berkelompok dengan bagi hasil 80% untuk
nelayan dan 20% untuk pemerintah; (c) pembentukan koperasi dengan anggota
individu nelayan yang dapat bekerja sama; (d) penyerahan dana 20% untuk
dikelola koperasi; (e) pengadaan sarana transportasi berupa kapal angkutan
Jakarta-Pulau Seribu (PP). Program-program itu diklaim sebagai keunggulan sang
Gubernur, yang tidak dimiliki oleh yang lain. Hal ini terungkap, misalnya dari
pernyataan BTP: "...misalnya "...program tambak ini jalan gak? Oh
Jalan, saya bikin sistem sangat baik. Ada tidak ada saya program yang saya ...
jalan, ...". Selain program inovatif demikian, BTP juga mencitrakan diri
sebagai sosok pemimpin yang berintegritas: jujur, berani, tidak korup, seperti
dalam pernyataan: (a) ".., saya orangnya sederhana saja, ...kalau bapak
ibu ndak mau rajin ndak mau kerja out aja..." (b) "... kapal dari
pusat, sudah korupsi, kadang-kadang kayunya jelek,... Sudh kacau, ingat
betul...sama dengan beras kin, tahun ini kita coba beras kin saya tidak mau
lagi beri subsidi...". Bahkan untuk mencitrakan dirinya lebih baik
dari calon lain, BTP melakukan pembandingan, misalnya: "... Ikhlas,
tapi yang gak pengalaman kita pilih ya bodoh. Beli kucing dalam karung
juga gitu . Tukang jual obat banyak, tukang jual kecap selalu kecapnya nomor
satu. Betul nggak? Kampanye sama... Kalau saya tidak pernah jual kecap nomor
satu silakan tanding.. " Dan "... yang mau kerja sama untungnya 80 -
20, adilkan? Kalau gak adil, cari toke mana gak bakalan kasi deh. Ini toke ahok
yang kasi 80-20..."
Dalam
hubunggannya dengan kesadaran BTP akan pemilih muslim, di sinilah BTP melakukan
kesalahan patal dengan membuat pernyataan: "... Jadi, jangan percaya sama
orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak/ibu gak bisa pilih saya, karena
dibohongin pakai surat al maidah 51 macem-nacem itu. Itu hak bapak ibu ya
..(pidato menit ke-19.16). Dari ketiga kalimat di atas kalimat kedua,
yang berupa kalimat majemuk bertingkat: "Kan bisa aja dalam hati kecil
bapak/ibu gak memilih saya karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51
macem-macem itu." Apabila anak kalimat pengganti keterangan sebab:
"...karena dibohongin pakai Al Maidah 51 macem-macem itu", dianalisis
dengan menggunakan teori tagmemik tentang peran sintaktis, maka terjadi
penghilangan peran sasaran, yaitu bapak/ibu. Penghilangan itu dimungkinkan
karena peran sasaran telah disebutkan pada induk kalimatnya, sehingga kalimat
itu menjadi: "Kan bisa aja dalam hati kecil bapak/ibu gak memilih saya
karena bapak/ibu dibohongin pakai Al Maidah 51 macem-macem itu".
Pada konstruksi anak kalimat itulah terdapat unsur yang menganggap rendah Al
Quran (Al Maidah 51), yaitu penggunaan kata: pakai dan frase:
"...macem-macem itu...". Kata pakai dalam konstruksi "...dibohongin
pakai Al Maidah 51..." berdasarkan teori tagmemik memiliki peran sintaktis
sebagai alat/instrumental, buktinya konstruksi itu dapat dipeluas menjadi:
"...karena bapak ibu dibohongin dengan memakai surat Al Maidah 51..."
dan dari sudut pandang teori topikalisasi kata pakai pada konstruksi itu
berfungsi sebagai upaya pengedepanan peran instrumental.
Persoalannya,
siapa yang berperan sebagai pelaku tindakan pasif (dibohongin) itu? Pelakunya
adalah; orang, yang terdapat pada kalimat pertama: "...Jadi, jangan
percaya sama orang...". Persoalan selanjutnya, dalam pernyataan itu apakah
yang dimaksudkan sebagai pelaku tindakan berbohong itu adalah orang atau surat
Al Maidah 51 tersebut? Dengan penggunaan kata pakai mempertegas bahwa yang
dipandang berbohong itu adalah alat, yaitu surat Al Maidah 51. Penguatan
pemaknaan yang melakukan tindakan berbohong itu tertuju pada surat Al Maidah
51. Dari logika sederhana, alat yang dapat digunakan untuk berbohong adalah
alat yang memang dari substansinya berisi kebohongan. Tidak mungkin alat yang
secara substansi berisi kebenaran dapat digunakan sebagai alat untuk berbohong.
Alat yang benar hanya dapat dipakai untuk menciptakan kebenaran. Bahwa rujukan
makna yang mengandung kebohongan itu adalah pada alatnya pada teks tersebut,
dalam hal itu surat Al Maidah 51, diperkuat dengan keterangan yang disematkan
pada surat Al Maidah 51, berupa frase "...macem-macem itu...".
Kata ulang macem-macem selalu berkonotasi negatif, itu sebabnya kata itu dapat
berkolokasi dengan kata larangan: jangan, seperti dalam konstruksi: Jangan
macam-macam ya, nanti saya berhentikan kamu dari pekerjaan ini; atau dapat
berkolokasi dengan bentuk larangan: tidak boleh, seperti dalam kalimat:
Kamu tidak boleh macam-macam di tempat itu. Pemberian keterangan berupa frase:
"macem-macem itu..." mengandung arti bahwa surat Al Maidah 51,
merupakan surat yang kandungan isinya tidak seharusnya, ia mengandung makna di
luar kelaziman (macem-macem). Dalam konteks ini terjadi penistaan atas surat Al
Maidah 51, karena dipandang sebagai surat yang isinya tidak seharusnya.
Padahal, bagi umat muslim Al Quran berisi kebenaran, tidak ada yang sia-sia
yang Allah ciptakan, termasuk setiap ayat dalam Al Quran. Penistaan atas
kandungan isi Al Quran identik dengan penistaan atas Penciptanya.
Persoalan
lain, apakah penistaan yang dilakukan BTP merupakan suatu tindakan yang
sengaja, secara sadar dilakukan atau tidak? Melalui analisis struktur isi teks,
tindakan itu dilakukan secara sadar. Ada dua alasan utama yang dapat dikemukakan.
Pertama, isu utama yang ingin dibisampaikan BTP adalah isu tentang
Pilkada DKI, karena pernyataan tentang itu muncul dua kali di sela-sela
pembicaraannya tentang program dan dirinya. Kedua, munculnya pembicaraan
mengenai Pilkada itu tersisipi pada konteks yang sengaja dikondisikan.
Sebagai contoh, pembicaraan tentang Pilkada pertama kali muncul setelah
BTP membahas keunggulan programnya dan pentingnya sosok gubernur yang
berintegritas serta berpengalaman.
Adapun
munculnya pembicaraan ttg isu Pilkada kedua terjadi setelah BTP berbicara
tentang pentingnya kebersamaan, dengan menyatakan: "...jadi kita
saling jaga...". Hanya karena kebersamaan itulah sikap saling menjaga
dapat dipelihara dan kebersamaan itu pula membuat tidak ada jarak, tidak ada perbedaan.
Sekat-sekat perbedaan keyakinan, suku, bahasa tidaklah penting, yang penting
adalah program unggulan yang prorakyat berjalan. Dalam konteks itu pula BTP
ingin menetralkan sekat perbedaan agama dalam Pilkada. Hal itu bersesuaian
dengan penyataannya, "... Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu gak bisa
pilih saya, karena dibohongin pakai surat al maidah 51 macem-nacem
itu...". Selain itu, kedua pernyataan tentang isu Pilkada tersebut selalu
dimulai dengan kalimat yang meminta perhatian, misalnya: "... Saya selalu
tegaskan sama bapak/ibu juga jangan terpengaruh ini urusan dengan pilkad coba
ingat,..", untuk memulai pernyataan tentang Pilkada pertama dan
pernyataan: ".... Jadi Bapak ibu gak usa khawatir ini pemilihan kan
dimajuin..."untuk memulai pernyataan tentang Pilkada kedua. Berdasarkan
analisis forensik linguistik atas teks pidato Gubernur DKI di Kepulauan Seribu
tersebut dapat dikatakan bahwa, bukti-bukti kebahasaan mendukung adanya
penistaan terhadap Al Quran, khususnya Al Maidah 51 dan penistaan tersebut
dilakukan secara sadar.