Bismillah, Selamat Datang Di Hidayat Hilal Blog

Semoga isi blog ini dapat bermanfaat.

Firman Allah Ta'ala

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS. Ali ‘Imran:31.

Hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal dan amalan yang diterima. HR. Ibnu Majah (www.muslim.or.id)

Perkataan Ulama

Dunia kampung amal dan akhirat kampung balasan, barang siapa yang tidak beramal di sini akan menyesal di sana. Nasehat Imam Ahmad Radhiallahuanhu.

Wednesday, March 14, 2018

Analisis Forensik Linguistik Atas Teks Pidato Gubernur DKI di Kepulauan Seribu

Oleh Prof.Dr.Mahsun, M.S Guru Besar Linguistik Universitas Mataram

Teks pidato Basuki Tjahja Purnama (BTP) sesungguhnya lebih dilatarbelakangi oleh konteks Pilkada DKI. Konteks ini tampak dari munculnya dua kali pernyataan BTP yang tersisipi pada uraiannya tentang program unggulan yang direncanakan untuk membangun masyarakat Kepulauan Seribu. Pernyataan itu misalnya tergambar pada unsur kebahasaan; (a) Saya selalu tegaskan sama bapak/ibu juga jangan terpengaruh ini urusan dengan pilkada coba ingat, kalu ada yang lebih baik dari saya, kerja lebih benar dari saya, lebih jujur dari saya bapak/ibu jangan pilih saya. Bapak ibu mau pilih saya, bapak ibu bodoh dan (b) Jadi Bapak ibu gak usah khawatir ini pemilihan kan dimajuin kalau  saya tidak terpilih bapak ibu, saya berhentinya Oktober 2017. Jadi kalau program ini kita jalanin dengan baik, bapak ibu masih sempat manen sama saya sekalipun saya tidak terpilih jadi gubernur. Agak menarik mengapa BTP memunculkan gagasan tentang Pilkada itu dua kali, dan disisipi di tengah-tengah uraiannya tentang paparan program unggulannya.  

Dalam teori linguistik dikenal konsep topikalisasi, pengedepanan/penonjolan. Repetisi/pengulangan merupakan salah satu strategi penonjolan gagasan. Dengan demikian, teks itu lebih diwarnai konteks Pilkada. Persoalannya, apabila pesan yang ditonjolkan itu lebih berkonteks pada Pilkada, mengapa harus berbicara berputar-putar, tentang program dan menyangkut diri pribadi Ahok,  tidak langsung saja ke masalah pemilihan? Hal itu, tentu terkait dengan pandangan yang dianut dan dicoba bangun oleh  BTP, yaitu: (a) sosok calon gubernur DKI yang layak dipilih adalah sosok gubernur yang memiliki program yang inovatif, (b) berintegritas: jujur, berani, tidak korup. Namun, dia pun sadar bahwa, ada tantangan latar belakang agama pemilih yang harus dihadapi, yaitu latar belakang pemilih muslim.  

Terkait hal pertama, tampak sekali BTP menyebutkan bahwa program yang diusulkan itu merupakan program yang prorakyat, bahkan untuk titik masuknya, BTP mencoba mempersonifikasikan diri sama dengan masyarakat kepualauan Seribu, seperti terkandung dalam ungkapannya: "Saya kalau ke pulau seribu saya pasti bilang masih ingat kampung saya... Waktu saya turun saya lihat pak lurah saya panggil pak kades. karena taunya Pak kades..." Lalu dilanjutkan dengan pemaparan program inovasinya berupa: (a) program budidaya; (b) Pembinaan nelayan budi daya perorangan tidak berkelompok dengan bagi hasil 80% untuk nelayan dan 20% untuk pemerintah; (c) pembentukan koperasi dengan anggota individu nelayan yang dapat bekerja sama; (d) penyerahan dana 20% untuk dikelola koperasi; (e) pengadaan sarana transportasi berupa kapal angkutan Jakarta-Pulau Seribu (PP). Program-program itu diklaim sebagai keunggulan sang Gubernur, yang tidak dimiliki oleh yang lain. Hal ini terungkap, misalnya dari pernyataan BTP: "...misalnya "...program tambak ini jalan gak? Oh Jalan, saya bikin sistem sangat baik. Ada tidak ada saya program yang saya ... jalan, ...". Selain program inovatif demikian, BTP juga mencitrakan diri sebagai sosok pemimpin yang berintegritas: jujur, berani, tidak korup, seperti dalam pernyataan: (a) ".., saya orangnya sederhana saja, ...kalau bapak ibu ndak mau rajin ndak mau kerja out aja..." (b) "... kapal dari pusat, sudah korupsi, kadang-kadang kayunya jelek,... Sudh kacau, ingat betul...sama dengan beras kin, tahun ini kita coba beras kin saya tidak mau lagi beri subsidi...". Bahkan untuk mencitrakan  dirinya lebih baik dari  calon lain, BTP melakukan pembandingan, misalnya: "... Ikhlas, tapi yang gak pengalaman  kita pilih ya bodoh. Beli kucing dalam karung juga gitu . Tukang jual obat banyak, tukang jual kecap selalu kecapnya nomor satu. Betul nggak? Kampanye sama... Kalau saya tidak pernah jual kecap nomor satu silakan tanding.. " Dan "... yang mau kerja sama untungnya 80 - 20, adilkan? Kalau gak adil, cari toke mana gak bakalan kasi deh. Ini toke ahok yang kasi 80-20..." 

Dalam hubunggannya dengan kesadaran BTP akan pemilih muslim, di sinilah BTP melakukan kesalahan patal dengan membuat pernyataan: "... Jadi, jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak/ibu gak bisa pilih saya, karena dibohongin pakai surat al maidah 51 macem-nacem  itu. Itu hak bapak ibu ya ..(pidato menit ke-19.16). Dari ketiga kalimat  di atas kalimat kedua, yang berupa kalimat majemuk bertingkat: "Kan bisa aja dalam hati kecil bapak/ibu gak memilih saya karena dibohongin pakai surat Al Maidah 51 macem-macem itu." Apabila anak kalimat pengganti keterangan sebab: "...karena dibohongin pakai Al Maidah 51 macem-macem itu", dianalisis dengan menggunakan teori tagmemik tentang peran sintaktis, maka terjadi  penghilangan peran sasaran, yaitu bapak/ibu. Penghilangan itu dimungkinkan karena peran sasaran telah disebutkan pada induk kalimatnya, sehingga kalimat itu menjadi: "Kan bisa aja dalam hati kecil bapak/ibu  gak memilih saya karena bapak/ibu dibohongin pakai Al Maidah 51 macem-macem itu".  Pada konstruksi anak kalimat itulah terdapat unsur yang menganggap rendah Al Quran (Al Maidah 51), yaitu penggunaan kata: pakai  dan frase:  "...macem-macem itu...". Kata pakai dalam konstruksi "...dibohongin pakai Al Maidah 51..." berdasarkan teori tagmemik memiliki peran sintaktis sebagai alat/instrumental, buktinya konstruksi itu dapat dipeluas menjadi: "...karena bapak ibu dibohongin dengan memakai surat Al Maidah 51..." dan dari sudut pandang teori topikalisasi kata pakai pada konstruksi itu berfungsi sebagai upaya pengedepanan peran instrumental.

Persoalannya, siapa yang berperan sebagai pelaku tindakan pasif (dibohongin) itu? Pelakunya adalah; orang, yang terdapat pada kalimat pertama: "...Jadi, jangan percaya sama orang...". Persoalan selanjutnya, dalam pernyataan itu apakah yang dimaksudkan sebagai pelaku tindakan berbohong itu adalah orang atau surat Al Maidah 51 tersebut? Dengan penggunaan kata pakai mempertegas bahwa yang dipandang berbohong itu adalah alat, yaitu surat Al Maidah 51. Penguatan pemaknaan yang melakukan tindakan berbohong itu tertuju pada surat Al Maidah 51. Dari logika sederhana, alat yang dapat digunakan untuk berbohong adalah alat yang memang dari substansinya berisi kebohongan. Tidak mungkin alat yang secara substansi berisi kebenaran dapat digunakan sebagai alat untuk berbohong. Alat yang benar hanya dapat dipakai untuk menciptakan kebenaran. Bahwa rujukan makna yang  mengandung kebohongan itu adalah pada alatnya pada teks tersebut, dalam hal itu surat Al Maidah 51, diperkuat dengan keterangan yang disematkan pada surat Al Maidah 51, berupa frase "...macem-macem itu...".  Kata ulang macem-macem selalu berkonotasi negatif, itu sebabnya kata itu dapat berkolokasi dengan kata larangan: jangan, seperti dalam konstruksi: Jangan macam-macam ya, nanti saya berhentikan kamu dari pekerjaan ini; atau dapat berkolokasi dengan bentuk larangan:  tidak boleh, seperti dalam kalimat: Kamu tidak boleh macam-macam di tempat itu. Pemberian keterangan berupa frase: "macem-macem itu..." mengandung arti bahwa surat Al Maidah 51, merupakan surat yang kandungan isinya tidak seharusnya, ia mengandung makna di luar kelaziman (macem-macem). Dalam konteks ini terjadi penistaan atas surat Al Maidah 51, karena dipandang sebagai surat yang isinya tidak seharusnya. Padahal, bagi umat muslim Al Quran berisi kebenaran, tidak ada yang sia-sia yang Allah ciptakan, termasuk setiap ayat dalam Al Quran. Penistaan atas kandungan isi Al Quran identik dengan penistaan atas Penciptanya.

Persoalan lain, apakah penistaan yang dilakukan BTP merupakan suatu tindakan yang sengaja, secara sadar dilakukan atau tidak? Melalui analisis struktur isi teks, tindakan itu dilakukan secara sadar. Ada dua alasan utama yang dapat dikemukakan. Pertama,  isu utama yang ingin dibisampaikan BTP adalah isu tentang Pilkada DKI, karena pernyataan tentang itu muncul dua kali di sela-sela pembicaraannya tentang program dan dirinya. Kedua, munculnya pembicaraan mengenai Pilkada itu tersisipi pada konteks yang sengaja dikondisikan.  Sebagai contoh,  pembicaraan tentang Pilkada pertama kali muncul setelah BTP membahas keunggulan programnya dan pentingnya sosok gubernur yang berintegritas serta berpengalaman.

Adapun munculnya pembicaraan ttg isu Pilkada kedua terjadi setelah BTP berbicara tentang pentingnya kebersamaan, dengan menyatakan: "...jadi  kita saling jaga...". Hanya karena kebersamaan itulah sikap saling menjaga dapat dipelihara dan kebersamaan itu pula membuat tidak ada jarak, tidak ada perbedaan. Sekat-sekat perbedaan keyakinan, suku, bahasa tidaklah penting, yang penting adalah program unggulan yang prorakyat berjalan. Dalam konteks itu pula BTP ingin menetralkan sekat perbedaan agama dalam Pilkada. Hal itu bersesuaian dengan penyataannya, "... Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu gak bisa pilih saya, karena dibohongin pakai surat al maidah 51 macem-nacem  itu...". Selain itu, kedua pernyataan tentang isu Pilkada tersebut selalu dimulai dengan kalimat yang meminta perhatian, misalnya: "... Saya selalu tegaskan sama bapak/ibu juga jangan terpengaruh ini urusan dengan pilkad coba ingat,..", untuk memulai pernyataan tentang Pilkada pertama dan pernyataan: ".... Jadi Bapak ibu gak usa khawatir ini pemilihan kan dimajuin..."untuk memulai pernyataan tentang Pilkada kedua. Berdasarkan analisis forensik linguistik atas teks pidato Gubernur DKI di Kepulauan Seribu tersebut dapat dikatakan bahwa, bukti-bukti kebahasaan mendukung adanya penistaan terhadap Al Quran, khususnya Al Maidah 51 dan penistaan tersebut dilakukan secara sadar.