Wednesday, December 2, 2020

Seratus Hari Yang Lalu

 



Hari itu, bulan suciMu baru saja menyapa. Cahaya mentari sedikit redup tak sepanas kemarin, udara agaknya dingin, tapi juga tak sedingin kemarin. Mungkin saja karena sayap sayap malaikat rahmatMu mulai berkepak kepak, menoleh ke bumi, lalu menatap orang-orang sekitarku. Ragakupun kini bergegas, lisanku lantunkan do'a tiada henti, sedangkan dentuman keras suara optimisku seakan tak kuat terbendung relung hati. Jika sepuluh tahun lalu lidahmu kelu mendengar vonis itu, sekarang akulah yang penuh sesak, rasanya tak sanggup tatapanku menghadapmu, ingin rasanya aku berbisik "biarkan aku yang menanggung laramu".

Sesampainya disana, ditempat itu, kau nampak pucat, senyum lebarmu tak terlihat. Tak sepatah katapun terucap darimu, akupun duduk memandang, sesekali aku coba memulai ucapan demi ucapan. "Maaf" gumamku, bukan karena cerewetku kambuh menghampirimu, bukan, namun, itu aku lakukan untuk memastikan responmu.

Hari itupun diagnosismu terinci lengkap, ditetapkanlah 'besok' sebagai puncak penawar luka di tubuhmu. Entahlah, dan kau pun tahu, kami khawatir, itu sudah pasti. Namun ada setitik pikiran seakan datang menghibur, memori setahun yang lalu ditempat yang sama, dan semoga Allah mentakdirkan yang sama pula 'besok'.

Tibalah hari itu, duduklah aku, menunggu dipanggilnya deretan namamu, sebagai pertanda aku bisa bersua. Ya, kini sudah terpanggil, saat aku mendekat, terbukalah matamu sedikit demi sedikit, terdengar pula lirih suaramu. Alhamdulillah, ucapku. Pulihlah sudah, pulihlah secepatnya, daun daun di taman telah kering, menunggu siraman air dari guyuran gayung gayungmu.

Kini, kita "Pulang" bersama, meskipun sejujurnya aku masih sangsi, tapi, ah sudahlah. Ku kuburkan dalam dalam sangsiku itu, agar ku yakin bahwa mentari esok lebih cerah dan tak ada lagi awan menjadi mendung. Di rumah, kau bersama kami, sanak saudaramu, handai tolanmu satu persatu datang menemuimu, meyakinkan dan menguatkanmu. Hei hei hei, kalian tak perlu datang, cukup aku yang menyemangatinya, menguatkannya, meyakinkannya, sebagaimana dahulu dialah yang melakukannya untukku disaat aku lemah atau jatuh sejatuh jatuhnya. Tak perlu datang lagi, cukup aku.

Berlalu, hari demi hari. Sepekan sudah, cukup membuatku yakin. Seingatku, petang itu makanan yang telah habis kau kunyah tak lagi mampu bertahan lama dalam perutmu, pikirku, ah ini pasti karena belum pulih total. Tapi perlahan engkau diam, lalu berkata sepatah kata, lalu diam lagi, engkau memberi isyarat, beberapa kali memberi isyarat dan akhirnya ku liat wajahmu pucat serta sekujur tubuhmu lunglai. Rupanya petang itu petang terakhirmu dirumah sedehana kita, rumah tempatku menangis saat kecil dan kau menimangku. Rumah bertaman mungil yang kau siram bunganya tiap sore hari, hampir setengah umurmu kau habiskan di rumah itu, rumah sederhana kita, tempatmu pernah bersujud, juga berdzikir memujaNya, kini pergi, engkau diangkat, dan dibawa menuju roda empat, pijakan terakhirmu telah terayun rapi, pergi, esok tak terdengar lagi hentakan sepatumu disitu.

Ya, berselang tiga hari, di sepertiga malam terakhir, Jumat pukul 04.00 engkau dipanggil menghadapNya, kami bertiga menyaksikan sekaratmu. Indah, tapi manyayat hatiku, karena kau tinggalkan aku tanpa bisikan apapun. Namun kau ajari aku cara melepas kepergianmu dengan cara yang selalu kau isyaratkan padaku. Kau ajari aku untuk selalu tegar, kau ajari aku untuk memaafkan orang yang menghianatiku, kau ajari aku untuk tidak menangis saat sedih, kau ajari aku mencintaiNya dan dengannya aku ikhlaskan kepergianmu, dan kau isyaratkan padaku bahwa suatu hari aku dan engkau akan bertemu kembali, hidup dan tak lagi berpisah selamanya.