Bismillah, Selamat Datang Di Hidayat Hilal Blog

Semoga isi blog ini dapat bermanfaat.

Firman Allah Ta'ala

Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah (sunnah/petunjuk)ku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. QS. Ali ‘Imran:31.

Hadits Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal dan amalan yang diterima. HR. Ibnu Majah (www.muslim.or.id)

Perkataan Ulama

Dunia kampung amal dan akhirat kampung balasan, barang siapa yang tidak beramal di sini akan menyesal di sana. Nasehat Imam Ahmad Radhiallahuanhu.

Thursday, December 10, 2020

Wanita Itu Bernama Ja’rah

Innalillahiwainnailaihiroji’un.. Seruan ini tidak lagi asing pada ummat muslim, pertanda telah terjadi musibah yang mesti diikhlaskan karena Allah, Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan tempat kembali semua makhluk di muka bumi ini.

Hari ini adalah hari keenam ummat Islam menjalankan ibadah puasa di tahun 1433 Hijriah, dan ternyata sang Maha Kuasa telah memanggil salah seorang hambaNya di tempat tinggalku untuk menghadap kepadaNya, dia bernama “Ja’rah”. Perempuan yang akrab dipanggil ‘penganten’ itu menutup usia diumur 63. Panggilan penganten merupakan panggilan khas yang diperuntukkan bagi orang yang baru menikah hingga ia memiliki anak atau keturunan dan barulah kemudian setelah memiliki anak ia dipanggil dengan nama ‘peraman’nya yaitu nama anak pertamanya. Akan tetapi panggilan peraman itu tidak bernasip pada almarhumah Ja’rah.

Bercerita panjang tentang penganten Ja’rah ini mungkin bisa kita jadikan refrensi baru mengenai legenda wanita-wanita tabah dimuka bumi ini. Betapa tidak, 40 tahun yang lalu ketika dia berumur sekitar 25 tahun, dia dinikahi seorang ‘bajang’ (bahasa sasak yang berarti pemuda) yang seumuran dengannya. Saat itu mungkin menjadi salah satu kebahagian paling berharga dan terkenang dalam hidupnya karena dalam benak hati setiap pasangan baru pasti berangan-angan untuk hidup lebih baik, menjalani kehidupan bersama selamanya dan memiliki keturunan yang menghormatinya untuk dapat merawatnya diwaktu tua dengan penuh cinta. Mungkin sederetan angan-angan ini juga terbersit dibenak hati penganten Ja’rah pada saat itu.

Takdir berkata beda, angan-angan itu tak tercapai. Dia hidup berkecukupan, tidak lebih baik dari sebelumnya, penantian panjang atas hadirnya keturunan menghiasi perjalanan rumah tangganya. Sepuluh tahun umur pernikahannya tak kunjung mendapatkan keturunan, pasrahpun mulai terucap dari bibirnya. Bukan sampai di sana, suami yang dicintainya ternyata memilih untuk menceraikannya. Kini penganten Ja’rah adalah seorang janda tua, telah kehilangan suami dan harapan untuk memiliki keturunan layaknya perempuan pada umumnya.

Hari ini hembusan nafas terakhir mengakhiri kesendirian penganten Ja’rah dalam menjalani hidup, dia tidak meninggalkan orang istimewa yang akan mendo’akan dan menziarahi makamnya. Semoga dia bahagia di alam sana.

Kita semua menyadari betapa pentingnya memiliki anak dari suatu pernikahan yang kita jalani. Bahkan sejarah mencatat betapa dianggap rendahnya wanita ketika tidak mampu memberi keturunan, tidak sedikit dari laki-laki yang menceraikannya. Keputusan bercerai dengan wanita yang mandul adalah tepat menurut mereka, anggapannya bahwa wanita seperti itu adalah wanita yang sia-sia. Memang tidak mudah untuk dihadapkan dengan masalah seperti itu, akan tetapi secara fitrah Tuhan menciptakan bumi dan seisinya bukan dengan percuma, jadi sudah seharusnya kita menghilangkan kata sia-sia pada semua benda di muka bumi ini baik itu buatan manusia lebih-lebih ciptaan Tuhan. Wanita adalah ciptaan Tuhan, jadi hargai dan hormati dia meskipun dia tidak mampu memberi keturunan. 

Tulisan ini aku persembahkan untuk para wanita dimanapun berada agar selalu tabah dan sabar menghadapi segala cobaan.

Bagi yang telah menikah dan telah dikaruniakan anak, syukuri apa yang Tuhan berikan saat ini.

Bagi laki-laki yang saat ini berniat menceraikan istrinya, fikirkan kembali keputusan terbaik sebelum mengucap kata cerai itu, karena tak ada manusia yang tak mau hidup bahagia, tak ada manusia yang ingin setiap waktu mendapat masalah, wanita juga manusia, hargai dia meskipun dia tak mampu memberikan keturunan, karena pada dasarnya itu diluar kehendak kita sebagai makhluk. Berikan wanita kebahagiaan dengan cinta dan kasih sayang untuk selama-lamanya.

Wednesday, December 2, 2020

Seratus Hari Yang Lalu

 



Hari itu, bulan suciMu baru saja menyapa. Cahaya mentari sedikit redup tak sepanas kemarin, udara agaknya dingin, tapi juga tak sedingin kemarin. Mungkin saja karena sayap sayap malaikat rahmatMu mulai berkepak kepak, menoleh ke bumi, lalu menatap orang-orang sekitarku. Ragakupun kini bergegas, lisanku lantunkan do'a tiada henti, sedangkan dentuman keras suara optimisku seakan tak kuat terbendung relung hati. Jika sepuluh tahun lalu lidahmu kelu mendengar vonis itu, sekarang akulah yang penuh sesak, rasanya tak sanggup tatapanku menghadapmu, ingin rasanya aku berbisik "biarkan aku yang menanggung laramu".

Sesampainya disana, ditempat itu, kau nampak pucat, senyum lebarmu tak terlihat. Tak sepatah katapun terucap darimu, akupun duduk memandang, sesekali aku coba memulai ucapan demi ucapan. "Maaf" gumamku, bukan karena cerewetku kambuh menghampirimu, bukan, namun, itu aku lakukan untuk memastikan responmu.

Hari itupun diagnosismu terinci lengkap, ditetapkanlah 'besok' sebagai puncak penawar luka di tubuhmu. Entahlah, dan kau pun tahu, kami khawatir, itu sudah pasti. Namun ada setitik pikiran seakan datang menghibur, memori setahun yang lalu ditempat yang sama, dan semoga Allah mentakdirkan yang sama pula 'besok'.

Tibalah hari itu, duduklah aku, menunggu dipanggilnya deretan namamu, sebagai pertanda aku bisa bersua. Ya, kini sudah terpanggil, saat aku mendekat, terbukalah matamu sedikit demi sedikit, terdengar pula lirih suaramu. Alhamdulillah, ucapku. Pulihlah sudah, pulihlah secepatnya, daun daun di taman telah kering, menunggu siraman air dari guyuran gayung gayungmu.

Kini, kita "Pulang" bersama, meskipun sejujurnya aku masih sangsi, tapi, ah sudahlah. Ku kuburkan dalam dalam sangsiku itu, agar ku yakin bahwa mentari esok lebih cerah dan tak ada lagi awan menjadi mendung. Di rumah, kau bersama kami, sanak saudaramu, handai tolanmu satu persatu datang menemuimu, meyakinkan dan menguatkanmu. Hei hei hei, kalian tak perlu datang, cukup aku yang menyemangatinya, menguatkannya, meyakinkannya, sebagaimana dahulu dialah yang melakukannya untukku disaat aku lemah atau jatuh sejatuh jatuhnya. Tak perlu datang lagi, cukup aku.

Berlalu, hari demi hari. Sepekan sudah, cukup membuatku yakin. Seingatku, petang itu makanan yang telah habis kau kunyah tak lagi mampu bertahan lama dalam perutmu, pikirku, ah ini pasti karena belum pulih total. Tapi perlahan engkau diam, lalu berkata sepatah kata, lalu diam lagi, engkau memberi isyarat, beberapa kali memberi isyarat dan akhirnya ku liat wajahmu pucat serta sekujur tubuhmu lunglai. Rupanya petang itu petang terakhirmu dirumah sedehana kita, rumah tempatku menangis saat kecil dan kau menimangku. Rumah bertaman mungil yang kau siram bunganya tiap sore hari, hampir setengah umurmu kau habiskan di rumah itu, rumah sederhana kita, tempatmu pernah bersujud, juga berdzikir memujaNya, kini pergi, engkau diangkat, dan dibawa menuju roda empat, pijakan terakhirmu telah terayun rapi, pergi, esok tak terdengar lagi hentakan sepatumu disitu.

Ya, berselang tiga hari, di sepertiga malam terakhir, Jumat pukul 04.00 engkau dipanggil menghadapNya, kami bertiga menyaksikan sekaratmu. Indah, tapi manyayat hatiku, karena kau tinggalkan aku tanpa bisikan apapun. Namun kau ajari aku cara melepas kepergianmu dengan cara yang selalu kau isyaratkan padaku. Kau ajari aku untuk selalu tegar, kau ajari aku untuk memaafkan orang yang menghianatiku, kau ajari aku untuk tidak menangis saat sedih, kau ajari aku mencintaiNya dan dengannya aku ikhlaskan kepergianmu, dan kau isyaratkan padaku bahwa suatu hari aku dan engkau akan bertemu kembali, hidup dan tak lagi berpisah selamanya.